Monday, May 16, 2022

#RUANGOPINI

Budaya Kaderisasi dan Problematika Pengkaderan

Oleh: Aprisia Aryu Nabilla*

PMII atau Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia merupakan organisasi ekstra kampus dikalangan mahasiswa yang  bertujuan untuk mendidik kader-kadernya menjadi pribadi luhur berlandas keislaman (ASWAJA) dan dapat mengamalkan ilmu pengetahuannya dengan ikhlas hati untuk mewujudkan Indonesia menjadi lebih baik. Sejatinya dalam menjalankan visi dan misi dari PMII itu sendiri diperlukan yang namanya kaderisasi, apalagi organisasi seperti PMII memang organisasi berbasis kaderisasi. Kaderisasi adalah hal yang sangat penting karena dapat berpengaruh dalam gagal atau suksesnya sebuah organisasi, mengingat betapa pentingnya sebuah kaderisasi maka setiap organisasi wajib mendidik dan mampu menghasilkan kader yang berkualitas agar esensi dan eksistensi dari organisasi tetap kokoh. 

Berbicara tentang pengkaderan saya teringat ketika saya baru menjadi maba dan saat itu saya masih mengenal organisasi PMII yang saya kira adalah ‘Palang Merah Indonesia’. Berbagai fenomena dalam pengkaderan PMII yang saya temui saat itu seolah menjalani tahap calon militer seperti push up jika melakukan kesalahan, padahal kesalahan kader harusnya dibenarkan bukannya dihukum lalu dibiarkan saja. Ada juga kata-kata kasar yang “katanya” untuk membentuk mental sampai pemukulan ala preman.

Selain itu ada juga pengkaderan dengan dalih akan dipermudah jenjang karirnya yang pada dasarnya itu semua hanya suatu bentuk kepentingan pribadi saja, iming-imingan kepada calon anggota khususnya yang sebenarnya sampai saat ini saya tidak paham maksud dan tujuan pengkaderan seperti apa. Ada yang mengatakan “Kalau tidak masuk organisasi (x) nanti bisa-bisa jadi mahasiswa kupu-kupu dsb..” . Mahasiswa kupu-kupu seperti apa yang dimaksud saya juga tidak paham, padahal kita tidak tau diluar dari kesibukannya ia mengikuti organisasi apa saja. 

Ketidaktepatan perspektif atau semacam kontruksi sosial sekitar seolah yang terlihat ketika ia tidak masuk PMII berarti ia bukan mahasiswa yang aktif atau sering disebut mahasiswa kupu-kupu, ini sudah tidak lagi berbicara kemiliteran, kata-kata yang keras hingga kekerasan fisik saja, budaya baru yang saat ini cukup mengkagetkan saya sudah saat dan sepatutnya harus dihilangkan. Karena pada dasarnya tujuan dari berproses di organisasi adalah untuk progresifitas diri sendiri dan kemajuan organisasi.

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa tujuan sebenarnya pengkaderan adalah suatu proses direncanakan oleh suatu organisasi untuk menghasilkan penerus yang memiliki kualitas yang unggul. Sepengetahuan saya tugas dari pengkaderan adalah bertanggung jawab dalam memproduktifkan kegiatan, membentuk kader sebagai upaya menumbuhkan sifat percaya diri dan mampu memimpin secara finansial dalam organisasi dan mempersiapkan calon-calon yang unggul untuk melanjutkan tongkat estafet perjuangan suatu organisasi.

Kemudian beberapa pertanyaan muncul di pikiran saya? Jika kader suatu organisasi (PMII) itu “mlempem”* dan tidak ada pergerakan sama sekali siapa yang harus bertanggungjawab? Apakah dari pengurus kaderisasi saja? Ataukah pemimpin ? Atau malah kader PMII itu sendiri?.  Jika mengatakan pengurus kaderisasi yang bertanggungjawab rasanya sedikit tidak adil karena menurut saya selama menjadi kader bukannya menuntut pengayoman dari pengurus kaderisasi saja namun keseluruhan pengurus juga ikut bertanggungjawab atas progresifitas kader. Semisal saja dalam suatu organisasi selalu saja kaderisasi yang paling bertanggungjawab untuk mengkader, lalu bagaimana dengan yang lain? Hanya leha-leha saja atau ya sudah memenuhi tugasnya di biro tersebut lalu selesai? Lantas bagaimana ceritanya organisasi tersebut menjadi organisasi yang berkualitas sedangkan masih ada kecacatan dalam kepengurusannya?. 

Seorang pemimpin juga memiliki tanggungjawab penuh atas organisasi yang dipimpinnya tidak sekedar leha-leha dan sibuk dengan kepentingan pribadi. Pemimpin dan segala tugasnya juga menjadi sorotan yang harusnya juga dipertanyakan, dalam menjalankan tugas kaderisasi khususnya bagaimana seorang pemimpin dapat membantu progresifitas kader bukan hanya pendekatan emosional saja, seolah seorang pemimpin disini tugasnya hanya menyuruh-nyuruh saja dan tugas yang lain biar dilakukan oleh biro masing-masing. Padahal gerakan seorang pemimpin ini tidak sesempit itu dan juga sangat penting untuk kemajuan kader serta organisasi tersebut. Lalu bagaimana suatu organisasi dapat maju dan tetap mempertahankan eksistensinya jika dalam kepengurusan masih ada problematika yang belum selesai perihal tugas, kepemimpinan hingga kader mengkader. Saya pernah mendengar seorang berkata “Organisasi diibaratkan seekor ular. Jika kepalanya hanya diam saja bagaimana tubuhnya bisa bergerak?”. 

Apakah kaderisasi saat ini menjadi ajang kompetisi antar kubu organisasi untuk mempertahankan eksistensi ? lalu bagaimana kaderisasi yang bertujuan menghasilkan bibit-bibit unggul sedangkan pengurusnya saja masih mementingkan kepentingan pribadi? Padahal berkualitas atau tidaknya suatu organisasi adalah bagaimana suatu organisasi tersebut dapat mencetak bibit-bibit unggul yang nantinya diharapkan dapat berpengaruh untuk kemajuan Indonesia kedepannya. Saya harap, kita sebagai kader yang memaknai suatu proses dalam organisasi PMII adalah suatu proses penting untuk membentuk diri, bukan proses untuk menaikkan kasta pribadi. Selepas itu semua, ada amanah yang harus dituntaskan dan kewajiban yang harus dijalankan.


*Anggota PMII Rayon Al Fanani 2021 Komisariat Unisma

0 comments:

Post a Comment