Tuesday, December 8, 2020

#RUANGCERITA


Nostalgia

Pagi itu langit sangat cerah. Sinar matahari menembus jendela kamarku. Aku masih nyaman bersandar di ranjang kamarku sambil memikirkan keputusan yang aku ambil. Ya, aku memutuskan untuk mondok setelah lulus MTS. Keputusan yang sangat membebani piskiranku. Sekian lama aku terhanyut dalam bayangan pesantren, tiba-tiba terdengar suara lembut di depan pintu kamar. 

“Nduk, cepat siap-siap” ucapnya dengan suara yang hampir tak terdengar.

“iya bu” ucapku dengan suara yang lantang.

Aku beranjak dari tempat tidurku lalu bergegas ke kamar mandi dan bersiap-siap. Hari ini aku akan berangkat ke pesantren. Seluruh perlengkapan sudah kusiapkan semalam. Setengah jam berlalu, akupun sudah siap. Kulangkahkan kaki dengan sangat lambat, entah apa yang membuatku berat hati untuk berangkat.

Aku duduk di sofa yang sangat empuk menunggu bapak ibu selesai siap-siap. Kumainkan HP dengan sangat khusyuk, padahal cuma geser-geser layar. Mataku terasa panas karena terlalu lama terkena radiasi HP. Bapak dan ibu masih belum keluar dari kamarnya. Aku heran, yang mau mondok aku kenapa mereka yang lama siap-siapnya. Sudah capek ngedumel akhirnya mereka sudah siap. Bapak ibu melangkah bersama menuju sofa yang kini kududuki. Tidak ada yang memulai pembicaraan, hanya suara kipas menghiasi ruang tamu. Selang beberapa menit, suara berat berhasil mengalihkan pandanganku.

 “Nak, mantapkan hatimu bahwa kamu mondok menimba ilmu karena Allah. Lupakan segala sesuatu yang ada di rumah ini. Beribadah dan belajar yang sungguh-sungguh, ikuti peraturan di pesantren supaya ilmu yang kamu dapat barokah.” ucap ayah setulus hati.

Aku ingin menjawab apa yang ayahku ucapkan, tapi bibirku mengatup begitu rapat. Ayah memandangku dengan mata yang berkaca-kaca. Tak sanggup lama-lama larut dalam kesedihan, akhirnya ibu mengajak untuk berangkat.

“Ayo pak berangkat.” ucap ibu.

“iya ayo. Nak, pamitan dulu sama mbah uti dan mbah kong. Biar bapak yang masukkan barang-barangmu ke mobil.” ucap bapak padaku.

Air mata yang aku tahan sejak tadi kini mengalir deras di depan mbah uti dan mbah kong. Tangisku sangat pecah, hingga isakan tak lagi terdengar. Seketika kakiku melangkah menuju mobil karena aku tak ingin melihat mereka sedih apalagi kepikiran padaku. 

“Ayo pak”. ucapku sambil menepuk pundak bapak.

Hening, selama di perjalanan hanya desiran angin dan suara kendaraan mengiringi kita. Waktu yang ditempuh dari rumah ke pesantren sekitar setengah jam. Namun kali ini berbeda, aku merasa baru lima menit perjalanan eh sudah sampai. Sesuai adab, bapak, ibu, dan aku sowan ke pengasuh. Bapak mengutarakan niat aku mondok dan memasrahkan aku ke pengasuh, karena ketika kita di pesantren orang tua kita adalah kiai dan ibu nyai.

Tangisku pecah lagi saat bapak dan ibu pamitan untuk pulang. 

“Udah jangan nangis, malu tuh di liatin orang.” ucap bapak berusaha menenangkan aku.

“Ibu sama bapak pulang ya, pasti di kunjungi kok.” ucap ibu sembari mengelus kepalaku.

Aku tak menghiraukan ucapan mereka. Aku tetap menangis, menangis, dan menangis. Sebenarnya aku tidak tau apa yang aku tangisi. Air mata mengalir begitu saja tanpa aba-aba. Mungkin dirasa cukup lama menemani aku menangis, akhirnya bapak ibu pulang. 

Lantunan ayat suci Al-Qur’an kini mulai terdengar jelas di telingaku. Para santri berbondong-bondong pergi ke musholla. Sedangkan aku masih terdiam di teras kamar. Aku melamun sambil menatap senja yang indah. Di tengah lamunan tiba-tiba ada seseorang yang duduk di sebelahku.

“Santri baru ya” ucap seseorang di sebelahku.

“Iya mbk” jawabku dengan ramah.

“Kenalin aku Zulfi” ucapnya sembari menyodorkan tangannya padaku.

“Aku indah” jawabku sambil membalas jabatan tangannya.

Setelah berkenalan dan berbicara banyak hal, mbk Zulfi mengantarku ke kamar mandi untuk berwudhu. Mbk Zulfi menemaniku sampai aku selesai siap-siap berangkat ke musholla. Di musholla mbk Zulfi memberi tahuku apa saja yang dilakukan sebelum dan sesudah sholat berjamaah. 

“Dek, sebelum dan sesudah sholat berjamaah diharuskan sholat sunnah ya.” ucapnya dengan lembut.

“Bisa dijelasin mbk?” ucapku yang dibalas senyuman cantik dari mbk zulfi.

Mbk Zulfi menjelaskan dengan tuntas apa saja kegiatan dan peraturan yang ada di pesantren ini. Syukur alhamdulillah aku dipertemukan dengan seseorang yang baik hati, ramah, mau berbagi ilmu dan pengalaman.

Jam tidur pun telah tiba, aku mulai merebahkan tubuhku di kasur lantai yang keempukkannya jauh berbeda dari kasur yang biasa aku gunakan di rumah. Malam semakin larut, suara dengkur mulai terdengar dari sebelah kanan dan kiri ku. Seiring alunan dengkur, tak terasa air mata sudah membasahi pipiku. Ya, aku menangis. Dadaku terasa sesak hingga nafas tidak bisa dikendalikan. Setelah lama bermain air mata kini rasa kantukku datang. Kulihat jam sudah menunjukkan pukul 23:00, tidak di sangka satu jam aku bermain air mata. Kupejamkan mata sembari membaca doa sebelum tidur. 

Suara ketokan pintu begitu keras membangunkan tidur nyenyakku. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri tidak ada seorang pun di dalam kamar. Aku bingung. Kebingunganku terjawab dengan lantunan surah Al-Mulk. Aku baru ingat kalau jam 03:00 seluruh santri di wajibkan melaksanakan sholat tahajjud kemudian dilanjutkan membaca surat Al-Mulk bersama. Mataku masih enggan terbuka, tubuhku terasa sangat kaku untuk dibangunkan. Akhirnya aku putuskan untuk melanjutkan mimpi indah yang terjeda. Belum lama aku terhanyut dalam mimpi, selimut yang menemaniku membingkai mimpi terbuka. Dan benar saja, sudah ada seseorang yang duduk  di samping kiriku. 

“Adek sakit?” ucapnya padaku.

Aku masih tertegun, bingung mau bilang apa. Kalau aku bilang tidak, tentu aku akan di hukum karena sudah tidak berjamaah sholat subuh. Tapi kalau bilang sakit aku bohong dan bohong itu dosa. Pikiranku terhenti saat seseorang tersebut kembali membuka suara.

”Dek.” ucapnya dengan lembut.

“iya mbk.” ucapku terbata-bata.

“Adek sakit?” ini pertanyaan kedua kalinya.

Tanpa pikir panjang, aku pun mengangguk. Ku kira seseorang tersebut akan bertanya lagi mengenai sakitku. Ternyata dia langsung mengantarku berwudhu. Aku pun bergegas karena waktu subuh akan tiba. Baru kemarin aku menjadi santri, hari ini sudah melanggar peraturan pesantren. 

Aku mencari tau siapa nama seseorang yang sudah baik padaku tadi. Aku nanya ke ketua kamarku yang bernama Kiandra. Kebetulan tadi ketika aku masuk kamar cuma ada Kiandra, jadi hanya Kiandra yang tau siapa nama orang yang nganterin aku tadi. 

“Kia, aku mau nanya.” ucapku.

“iya silahkan ndah.” ucap kia dengan seulas senyum.

“Nama mbk tadi siapa? Yang nganterin aku wudhu itu loh.” ucapku dengan nada santai.

“Itu namanya mbk Shinta, dia pengurus peribadatan ndah.” Jawab Kia dengan raut wajah menyejukkan. 

Aku tipe orang kalau mencari tau apapun harus sejelas mungkin.

“Pengurus peribadatan itu yang mengontrol dan menghukum bagian ibadah ya, Kia.” ucapku sambil tersenyum, karena aku takut kia kesel dengan kecrewetanku ini.

“Iya ndah. Pengurus peribadatan memiliki tugas untuk membangunkan, mengajak, mengontrol, dan mengkuhum santri apabila tidak sholat berjamaah atau tidak ikut kajian.” Jawab kia dengan jelas.

“Oh gitu, terima kasih ya sudah mau aku tanya-tanya.” 

Bel sudah berbunyi pertanda sholat dhuha akan segera dilaksanakan. Aku sudah melangkah menuruni satu persatu anak tangga untuk berwudhu. Namun, tepat di pertengahan anak tangga tidak sengaja aku mendengar pembicaraan sekelompok santri yang mengatakan bahwa kalau santri baru memang semua kegiatan dan peraturan di ikuti. Aku tetap melangkah sembari berpikir kebenaran dari pembicaraan mereka. Dan benar saja ketika aku di musholla ku lihat kanan kiri hanya di dominasi santri baru. Usai menunaikan sholat dhuha aku langsung bersiap pergi ke sekolah. Waktu yang dibutuhkan dari pesantren ke sekolah sekitar tujuh menitan. 

Satu minggu berlalu, aku sudah memiliki banyak teman dan mulai betah tinggal pesantren. Aku sudah melanggar peraturan seperti tidak berjamaah dan tidak piket. Dalam kurun waktu seminggu, aku sudah memiliki teman akrab layaknya teman lama. Kebetulan aku mendapat teman yang pikiran dan tingkah laku sama. 

Suatu hari di pesantren ada kegiatan penyuluhan kesehatan yang wajib di ikuti oleh seluruh santri. Di pesantren segala ilmu pengetahuan di pelajari, tidak melulu soal ilmu agama. Bel berbunyi, pertanda seluruh santri harus berangkat menghadiri penyuluhan. Sedangkan aku dan teman-teman pura-pura sakit. Ada yang pusing, sakit perut, bahkan ada yang sakit gigi. Aku tak kuasa menahan tawa saat pengurus mulai mengontrol dan bertanya satu persatu anak. Hal seperti ini hanya ada di pesantren.

Hari demi hari aku lalui dengan berbagai macam pelanggaran. Hampir setiap pagi aku di minta datang ke kantor pesantren untuk menemui pengurus. Aku tidak sendiri, tiga orang temanku juga berpartisipasi aktif dalam melanggar peraturan pesantren. 

“Kamu melanggar apa?” tanya Sherly padaku.

“Tidak sholat subuh berjamaah.” jawabku dengan santai.

“Tobat woy, jangan melanggar terus.” aku dan Sherly kompak menoleh ke sumber suara. Ternyata safina, orang yang juga di minta datang ke kantor pada saat itu juga.

“Ekhem, kamu ngapain ke sini?” tanyaku sembari mata melirik.

“Aku kan pengurus, jadi wajar dong kalo aku ke sini.” jawab Safina yang di barengi dengan tawa Sherly.

“Kamu sakit tah? Kok ngawur bicaranya.” ledek Sherly sambil mengelus kepala Safina.

“Iya iya. Aku ke sini karena lupa tidak piket.” ucap Safina dengan ciri khas cengengesannya.

Dengan kompak aku dan Sherly memalingkan wajah. Yah, sebenarnya hanya bercanda. 

Aku tumbuh menjadi santri yang sangat nakal. Bahkan, suatu pagi ketika aku dan teman-teman mau berangkat sekolah ada kejadian lucu dan menegangkan. Waktu itu aku dan Sherly sedang menunggu teman-teman yang lain untuk pergi sekolah. Tapi, aku dan Sherly menunggu di tempat terlarang. Di tengah canda tawa yang menggelegar, tiba-tiba pengasuh datang menghampiri. Terkejut sudah pasti. Aku mendadak tidak berkutik, seluruh tubuh terasa ringan ketika kiai tepat di sebelahku. Kiai memanggil ketua pengurus untuk menghukum kita berdua.

“Liburkan sekolah anak-anak ini dan jangan dikasih surat ijin” dawoh Kiai yang hanya di jawab anggukan  oleh ketua pengurus.

“Ayo dek masuk.” ucap ketua pengurus padaku dan Sherly.

Kita melangkah dengan di selimuti rasa cemas. Setibanya di kantor pesantren, aku dan Sherly tidak mengeluarkan sepatah kata apapun. Hingga beberapa menit kemudian pengurus keamanan datang sambil membawa plastik berukuran besar.  

“Ikut saya”. ucapnya dengan wajah seramnya.

“Iya mbk”. jawabku menunduk.

Tanpa bertanya aku dan Sherly pun mengikuti langkah pengurus keamanan tersebut, dan ternyata kita di suruh membersihkan selokan pesantren. Pikiranku penuh dengan rasa jijik, kotor, bau, tapi ini sudah menjadi konsekuensi. Dengan rasa sesal aku dan Sherly membersihkan selokan tersebut. 

Setelah membersihkan selokan, aku dan Sherly dipanggil pengurus keamanan lagi.

“Dek, rapikan pakaiannya”. ucap pengurus pada kita

Pikiran penuh dengan tanda tanya, tanpa berpikir panjang aku pun merapikan pakaianku

“Ayo ikut saya”. ucapnya sembari melangkah

Aku berjalan mengikutinya, hatiku dag dig dug saat aku tau akan di bawa kemana. Ya, aku dan Sherly di bawa ke kiai. Tubuhku gemetar, pikiranku melayang entah kemana. Dua menit berlalu, akhirnya kiai rawoh.

“Bersihkan rumput ini”. ucapnya sembari menunjuk ke arah rumput-rumput yang sudah meninggi. 

Tak lama kemudian, beliau memberikan clurit, gunting, sapu lidi, dan tempat sampah. Aku dan Sherly pun bergegas membersikan rumput-rumput. Selama membersihkan rumput, tidak ada yang berani membuka pembicaraan. Keringat mulai menetes dan tubuhku sudah terasa capek. Clurit yang aku pegang sudah tidak terasa lagi. 

“Kalau capek, ini di makan dulu”. ucap beliau yang berhasil mengakhiri lamunanku.

Aku dan Sherly hanya mengangguk, karena diantara kita tidak ada yang berani menjawab. 

Aku melirik ke kanan tepat Kiai menaruh makanan tersebut. Aku sangat penasaran dengan apa yang Kiai berikan. Setelah Kiai kembali ke dhalem aku memutuskan untuk membuka toples yang beliau bawa. Wajah yang kusut kini sumringah saat melihat tumpukan dodol garut di dalam toples. 

“Apa isinya, Ndah?. ucap Sherly padaku

“Dodol garut, Cher”. jawabku dengan gembira

Mendengar ucapanku, Sherly pun melangkah untuk mengambil dodol garut yang ada di tanganku. Kita membersihkan rumput sambil lalu memakan dodol garut yang super duper enak. Tanpa terasa toples yang semula terisi penuh, kini tersisa beberapa dodol saja. 

Dari situ aku menyimpulkan bahwa, sekeras apapun seorang Kiai menghukum santrinya tidak lain hanya untuk menjadikan santrinya lebih baik. 


*)) Sahabati Indah Nur Jannah, Anggota Rayon Al Fanani 2019, Komisariat Universitas Islam Malang.

2 comments: