Wednesday, November 24, 2021

#RUANGOPINI

Sejarah Singkat KOPRI Dari Masa Ke Masa

Oleh: KOPRI Al Fanani*

Pada saat PMII didirikan KOPRI memang belum ada. Yang ada hanya devisi keputrian. Hal ini bukan lantaran peran perempuan sangat kecil, melainkan lebih dikarenakan kepraktisan semata. Maksudnya dalam devisi keputrian ini dikalangan perempuan PMII bisa lebih fokus memusatkan perhatiannya menangani masalah-masalah yang berkaitan dengan dunianya. Sayang, saat itu dunia perempuanhanya sebatas menjahit, memasak dan dapur.

Dalam devisi keputrian tadi, yang menangani semua permasalahan didalamnya tentu saja harus perempuan. Namun, walau demikian tidak menutup kemungkinan perempuan menempati posisi di struktur PMII. Tapi lagi-lagi karena kesiapanSDM dan profesionalitas perempuan yang kurang menyebabkan jumlah mereka secara kuantitas masih sedikit. Dimaklumi, karena waktu itu memang sangat sedikit kaum perempuan yang dapat melanjutkan jenjang perguruan tinggi. Kondisi yang terjadi saat itu antara laki-laki dan perempuan saling bahu-membahu (guyup) dalam menutupi kekurangan di oeganisasi. Termasuk pula guyup dalam pengambilan keputusan serta beberapa hal yang mengharuskan mereka bekerja sama mempertaruhkan nama organisasi.

Lahirnya KOPRI berawal dari keinginan kaum perempuan untuk memiliki ruang sendiri dalam beraktifitas, sehingga mereka dapat bebas mengeluarkan pendapat atau apapun. Keinginan tersebut didukung sepenuhnya oleh kaum laki-laki saat itu. Corps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Poeteri (COPRI) lahir pada tanggal 25 November 1967 di Semarang, dengan status semi otonom yang sebelumnya merupakan follow up atas dilaksanakannya Training Kursus keputrian di Jakarta pada tanggal 16 Februari 1966 yang melahirkan Panca Norma KOPRI.

Disisi lain, kondisi gerakan perempuan perempuan pada saat berdirinya KOPRI baru sebatas emansipasi perempuan dalam bidang sosial dan kemasyarakatan. Misalnya di NU, kita mengenal Muslimat yang hanya mengadakan kegiatan pengabdian sosial kemasyarakatan. Dalam tahab awal berdirinya, KOPRI banyak mengadopsi dan melakukan kerjasama dengan Muslimat, serta beberapa organisasi perempuan lain yang sudah lebih dahulu ada saat itu, seperti Kongres Wanita Indonesia (KOWANI) maupun Korp HMI-Wati (KOHATI).  Pada saat pertama kali berdiri, sebagaimana organisasi perempuan yang ada pada waktu itu, KOPRI hanya semata-mata sebagai wadah mobilias perempuan. Alasan mengapa ada KOPRI tak lain karena dirasa perlu untuk mengorganisir kekuatan perempuan PMII untuk bisa menopang organisasi yangmenaunginya (PMII). Hal ini seperti juga terjadi di organisasi-organisasi lain baik organisasi mahasiswa, ormas keagamaan, dan organaisasi politik.


Akan tetapi ada pada perkembangan selanjutnya menunjukkan hubungan yang dianggap problematis. Dengan gagasan otonomisasi di tingkat pusat (Pengurus Besar) sekilas nampak dualisme organisasi, karena KOPRI memiliki program terpisah dan kebijakan yang berbeda dari PMII. Beberapa kalangan menganggap perkembangan ini sebagai suatu yang positif, karena KOPRI telah bergerak dari organisasi dengan pola ketergantungan terhadap PMll menuju organisasi yang mandiri. Sedangkan kalangan lain menanggapi dengan nada minor, karena KOPRI dianggap melakukan pelanggaran konstitusi dan telah menjadi kendaraan politik menuju posisi strategis di PMII.

Arus gerakan perempuan pada umumnya sangat memberi warna pada perkembangan yang terjadi dalam KOPRI. Untuk menjelaskan bagaimana realitas kondisi KOPRI, tidak lepas dengan bagaimana paradigma gerakan perempuan Indonesia.

Yang perlu diketahui lagi bahwa historis struktural yang mendorong lahirnya KOPRI sebagai organisasi ekstra kampus yang notabene merupakan kumpulan intelektual muda, dimana pada perkembangan awalnya perempuan di PMII masih termasuk dalam bidang keputrian. Tapi dengan kebutuhan serta didukung adanya kualitas dan kuantitas yang ada, menimbulkan keinginan yang tidak terbendung untuk mendirikan KOPRI sebagai otonom di PMII Alasannya adalah sebagai upaya guna peningkatan partisipasi perempuan serta pengembangan wawasan wilayah-wilayah kerja sosial kemasyarakatan, Bentuk dan perkembangan struktur itulah yang kemudian kita mengenal adanya Pengurus Besar (PB), di propinsi ada Pengurus Koordinator Cabang (PKC), kabupaten atau kota ada Pengurus Cabang (PC), terus hingga ke Komisariat atau rayon yang dulunya bernama anak cabang, ranting dan sebagainya.

Orientasi pemikiran sahabat-sahabat pendiri waktu itu dengan dibentuknya KOPRI sebagai organ otonom PMII adalah merupakan keinginan sahabat-sahabat dan kebulatan tekad yang teguh bahwa kaum perempuan cukup mampu dalam menentukan kebijakan tanpa harus lagi mengekor kepada laki-laki. Hal ini bukan berarti KOPRI terpicu oleh keinginan pragmatis dengan berkaca dari organisasi lainnya.

Walaupun KOPRI merupakan bagian dari komunitas NU dan saat itu masih menjadi partai,tetapi tidak ada kaitannya sama sekali. Dengan terbentuknya KOPRI, baik itu alasan politis,kepentingan sesaat,maupun tunggangan ideologi, sekalipun NU merupakan parpol.Pada saat orde baru di bawah kepemimpinanSuharto, trend  issu serta suara perempuan pada saat itu turun tensinya dan menuju pada titik kulminasi terendah, sangat melemah.Kondisi saat itu dihisap oleh keberadaan penguasa yang dikenal otoriter serta menghegemoni seluruhkekuatan yang ada di masyarakat.Namun walaupun demikian itu bukanlah masalah yang berarti bagi KOPRI,karena PMII memiliki pola dan karakter gerakan yang massif-agressif, keterpurukan KOPRI itu bisa tertutupi dengan baik. Pada saat kepemimpinan Sahabati Khofifah ditetapkan di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 1991 mengenai Nilai Kader KOPRI dan pada saat itu pula kaderisasi KOPRI telah dibentuk pola pengkaderan yang sistematis yaitu dibentuk sistem kaderisasi yang terdiri dari Kurikulum dan Pedoman Pelaksanaan LKK (Latihan Kader KOPRI) serta petunjuk pelaksana Latihan Pengkaderan KOPRI,dalam hal jenjang pengkaderan KOPRI dibagi menjadi 2 tahap yaitu LKx(Latihan Kader KOPRI) dan LPKK (Latihan Pelatih Kader KOPRI),ini adalah satu bentuk kemajuan kepengurusan KOPRI dari waktu ke waktu. 

PMII secara institusi selalu selangkah lebih maju dengan rekapitalisasi gerakan.Tidak demikian dengan KOPRI yang dirasakan justru kehilangan orientasi,dan mengalami distorsi paradigma gerakan yang dibangun pada saat itu.Tapi karena hubungan antara KOPRI-PMII baik-baik saja, maka secara personal sahabat-sahabat perempuan KOPRI masih sering diajak berurun-berembug, berdiskusi, atau dilibatkan dalam beberapa kegiatan.

Secara struktural KOPRI didalam institusinya berstatus semi otonom atau bagian integral dan tidak terpisahkan dari wadah utamanya yaitu PMII.Lewat semua itu,KOPRI banyak belajar dan menyadari betul tentang perlu adanya seorang pemimpin yang memiliki kemampuan. Dan performance pemimpin sangat mempengaruhi gerak dan aktifitas organisasi. 

Klaim tentang kesadaran gender pada PMII membangun argumentasi bahwa pembubaran KOPRI merupakan suatu keharusan.Karena KOPRI hanya mengakibatkan eksklusifitas perempuan di PMII. Organisasi perempuan sebagai subordinat dari organisasi lain dianggap memberi legitimasi terhadap streotyp perempuan sebagai makhluk subordinat dan kontra produktif terhadap gerakan perempuan untuk penyadaran, kesetaraan, pemberdayaan akses dan advokasi perempuan.

Cabang-cabang KOPRI yang membuat keputusan untuk meleburkan diri dengan PMII berrekperimen untuk berkompetisi dengan warga PMII lainnya dengan mengandalkan seleksi alam. Kader KOPRI dilanda syndrome inferior untuk menamakan diri sebagai bagian dari KOPRI. Mereka lebih nyaman menjadi PMII atau menjadi bagian dari wadah lain(asal bukan kopri). Disisi lain adalah fenomena kemandegan KOPRI, dimana eksis secara struktur tapi tidak melakukan apa-apa dan beberapa cabang KOPRI yang merasa tidak terganggu dan enjoy menjadi bagian dari PMII dengan alasan adanya sinergitas anatara PMII dan KOPRI.

Tidak dipungkiri bahwa pembubaran KOPRI pada kongres XIII di medan tahun 2000 meruapakan salah satu pengaruh dari euforia gerakan kesadaran gender. Selama ini kita merasakan tampak kesenjangan-kesenjangan, tidak hanya antara kader laki-laki dan perempuan, tetapi juga antar daerah memang terdapat beberapa experimentasi yang dilakukan oleh sebagian kecil daerah (Jawa tengah dan Jawa timur) dengan menafsirkannya dalam bentuk jaringan gender sementara daerah lain menjadi tampak kesulitan. Hal ini karena pembubaran KOPRI tifak dibarengi dengan usaha institusionalisasi yang serius kearah penataan kelembagaan. Sehingga secara institusional yang terjadi bukan mempertegus pemberdayaan kader putri, tetapi meluluh lantakannya kembali ke titik nol. Maka bukan hal yang mustahil manakala ditengah lemahnya mobilitas sosial dan aktualisasi diri kader putri yang secara sosiologis berlatar rural(pedesaan) ada kecurigaan bahwa pembubaran KOPRI adalah "Patriakhal konspiration". Ibarat kerang, kader putri yang memang " dilemahkan berangkat kemedan konstentasi". Mengambil pilihan liberal atau kontestasi bebas ditengah kader yang tidak seimbang oleh kondisi sosial yang timpang/serba laki-laki memang terlihat naif karena dengan begitu akan menimpakan masalah ketimpangan pada perempuan yang sesungguhnya juga adalah korban (Blamming the victim ).


Untuk menunjukkan bahwa PMII adalah organisasi pro-demokrasi dan HAM sehingga tidak memandang laki-laki dan perempuan secara dikotomis. Akan tetapi argumentasi kesadaran gender di PMII terjadi bersamaan dengan fenomena-fenomena sebagai berikut: pertama, marginalisasi perempuan di kepengurusan PMII di setiap level kepengurusan. Kedua, munculnya krisis kader perempuan dalam PMII yaitu terjadinya gap antara jumlah anggota perempuan yang aktif dengan jumlah anggota yang pasif. Pada saat dilakukan MAPABA di PMII biasanya separoh atau lebih merupakan kader perempuan. Mayoritas dari mereka hanya sempat mengikuti MAPABA, dan setelah itu seleksi alam akan menentukan apakah seorang kader perempuan akan bertahan atau tidak. Ketiga adalah kader putri yang melakukan pembaharuan melalui KOPRI terutama di PB KOPRI dan cabang-cabang PMII yang masih mempertahankan KOPRI. Aktifitas KOPRI melihat bahwa di tubuh PMII kesadaran gender terjadi bersamaan dengan ketimpangan gender yang tercermin dari ketidakjelasan kebijakan PMII terhadap kader perempuan yang jumlahnya melebihi 50% dari kader PMII seluruhnya. Hal ini disebabkan karena PMII merupakan organisasi secara idealitas tidak membedakan kader laki-laki maupun perempuan. Akan tetapi ditingkat realltas menunjukkan perbedaan perah laki-lakidan perempuan. Dengan kata lain kader perempuan PMII tidak memiliki landasan konstitusional yang jelas dalam memperjuangkan aspirasi perempuan. Berdasarkan forum musyawarah yang diamanatkan oleh Kongres XIV di Kutai Kertanegara Kalimantan Timur untuk membuat pertemuan POKJA Perempuan PMI pada tanggal 26-29 September 2003 yang menghasilkan ketetapan bahwa dibentuk kembali keorganisasian wadah perempuan yang bemama KOPRI (Korps PMII Putri) yang merupakan bagian integral dengan PMII di Jakarta pada tanggal 29 September 2003 dimana PB KOPRI berpusat di Jakarta. Dengan visi terciptanya masyarakat yang berkeadilan berlandaskan kesetaraan dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, sedangkan misinya adalah mengidialogisasikan gender dan mengkonsolidasikan gerakan perempuan di PMII untuk membangun masyarakat berkeadilan gender. Ketika PMII berusaha untuk memaksimalkan kader-kader perempuan PMII untuk mampu bersaing dan mandiri dengan membentuk badan semi otonom yaitu KOPRI tetapi keberadaannya tidak dapat dirasakan oleh kader-kader PMI secara keseluruhan baik itu laki-laki maupun perempuan apalagi masyarakat yang lebih luas, keberadaan KOPRI seperti "Hidup segan mati tak mau". Masing-masing daerah belum terkonsentrat dalam hal sistem kaderisasi KOPRI karena minimnya pemahaman mengenai KOPRI itu sendiri, padahal pada masa kepemimpinan Sahabati Khofifah sudah dibentuk Latihan Koder KOPRI (LKK) dan Latihan Pelatih Kader KOPRI [LPKK), namun seiring berjalannya waktu, masing-masing daerah membentuk sistem kaderisasi KOPRI sendiri dengan mengikuti perkembangan waktu dan pemahaman dari setiap kader di daerah, seperti di KOPRI PKC Jawa Barat membentuk sistem kaderisasi KOPRI yang dikenal dengan SKK (Sekolah Kader KOPRI) I SKK II. dan SKK III mengikuti jenjang pendidikan formal di PMIL: Kemudian KOPRI PC Kota Malang membentuk sistem kaderisasi KOPRI yang dikenal dengan SKP (Sekolah Kode Putri) I, SKP II dan SKK begitupun KOPRI PC. Kota Malang mengikuti jenjang pendidikan formal di PMII.


*Pengurus KOPRI Al Fanani Masa Gerak 2021 - 2022

3 comments: